Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta menegaskan, perlu hadirnya sebuah kesepahaman dan kesepakatan tentang definisi titik panas dan bagaimana cara menghitung akurat jumlah titik panas. “Perlu ada definisi bersama untuk membahas masalah tersebut,” buka Gusti Muhammad Hatta dalam Rakor tersebut, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Selama ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menggunakan data titik panas dari hasil pantauan satelit NOAA-ASMC. Sedangkan BMKG mendeteksi jumlah titik panas melalui teknologi Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada Satelit Terra. Tampak hadir dalam acara itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek, Kepala BMKG, Sri Woro, Kepala Bakorsurtanal, Asep Karsidi, dan sejumlah kepada daerah kabupaten dan kota Provinsi Kalimantan Timur.Dari data satelit NOAA-ASMC diketahui, jumlah titik api (hot spot) yang terdekteksi di Pulau Kalimantan hingga tanggal 21 Agustus 2011 berjumlah 2256. Titik itu tesebar di Kalimantan Barat berjumlah 728. Kalimantan Selatan 421 titik. Kalimantan Tengah 745 titik. Kalimantan Timur 362 titik. Jumlah titik api tertinggi terjadi pada tanggal 15 Agustus 2011 yakni 320 titik. Kabupaten Pulau Pisau di Kalimantan Tengah menjadi penyumbang terbanyak titik api pada tanggal tersebut yakni 40 titik.Gusti Muhammad Hatta dalam Rakor itu menekankan, cara yang paling efektif untuk menanggulangi bencana kebakaran lahan, pertama, diambilnya tindakan preventif. Sebagai contoh, dengan melakukan penyuluhan kepada pemilik kebun dan lahan tentang bahayanya membuka lahan dengan cara membakar hutan. Dengan begitu, pola pikir (mind set) para pemilik lahan dan petani lebih peduli kepada akibat yang ditimbulkan dengan cara membakar hutan. “Seperti munculnya ISPA dan transportasi. Dan cara ini tidak bisa dibiarkan (membakar).”Apabila hal itu dapat dilakukan, menurut Gusti Muhammad Hatta, volume Gas Rumah Kaca (GRK) dapat diturunkan hingga 14 persen. Soalnya, penyebab atau penyumbang tingginya volume GRK lantaran deforestasi—kegiataan penebangan hutan, dan kerusakan hutan. Kedua, lanjut Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) itu, melakukan kerjasama dan koordinasi dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, KLH membentuk 2 (dua) pilot project di Kalimantan Barat dan Riau dengan membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA). “Kita (KLH) bentuk MPA di Kubu Raya (Kalimantan Barat) dan di Bengkalis (Riau). Kita memberikan sejumlah bantuan alat pemadam api. Seperti pemberian pompa portable (bisa dibawa), selang, dan alat pembantu pencegah kebakaran”.Gusti Muhammad Hatta yakin, kebakaran hutan dan lahan dapat ditanggulangi apabila ada koordinasi antar pihak. Bila hal itu tidak dapat dilakukan maka bencana alam itu sangat sulit untuk diantisipasi. Ia mencontohkan pada jumlah titik api yang cenderung menurun di Kabupaten Kubu Raya dan Bengkalis. Hal itu disebabkan adanya peran masyarakat dalam menanggulangi bencana alam tersebut. “Koordinasi, maka akan turun, ini bisa, ternyata bisa diturunkan (jumlah titik panas)”. Dikatakan Gusti Muhammad Hatta, saat ini ada 6 (enam) provinsi yang kerap mengalami kebakaran lahan dan hutan. 4 (empat) ada di Pulau Sumatera, diantaranya yakni di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Kalimantan ada 2 (dua) yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.